Menurut
Imam Rofi’i dan Syekh Muhammad bin Qosim pengarang Kitab Fatkhul Qorib Wal
Mujib dan sebagian imam-imam lainnya, sholat fardlu yang dilakukan secara
berjama’ah hukumnya sunnah muakkad bagi laki-laki kecuali sholat jum’at
berjama’ah, sedangkan melakukan sholat jum’at berjama’ah hukumnya fardlu ain.
Tetapi pendapat yang lebih unggul menurut Imam An-Nawawi bahwa hukum melakukan
sholat fardlu berjama’ah adalah fardlu kifayah. (untuk mengetahui perbedaan Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah : KLIK DISINI).
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الجماعة افضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
Rosulullah
SAW bersabda : Sholat berjama’ah lebih utama daripada sholat sendirian dengan
keutamaan sebanyak 27 derajat.
Dari
hadist diatas menujukkan bahwa selisih sholat berjama’ah dengan sholat seorang
diri adalah 1 banding 27 derajat. Sholat dilakukan dengan berjama’ah mempunyai
banyak lagi keutamaan. Ibarat seorang yang membeli buah jeruk, jika membeli
sebungkus plastik berisi puluhan jeruk maka di dalam bungkus tersebut pun ada
jeruk yang manis dan asam, ada jeruk yang bagus dan ada pula yang sudah rusak,
namun semua ikut terbeli. Berbeda jika membeli jeruk perbuah, maka yang dibeli
pastilah jeruk yang manis dan bagus. Begitu pula dengan sholat berjama’ah
apalagi melebihi 40 orang, sholat berjama’ah akan dengan mudah diterima oleh
Allah SWT meski di dalamnya ada orang yang fasih dan pandai dalam bacaan
sholat, ada orang yang awan dan kurang tepat dalam bacaan sholat, ada orang
yang sholatnya dengan baik dan khusyu’, dan ada juga orang yang sholat dengan
kurang baik dan melamun. Berbeda dengan sholat sendiri, Allah hanya akan
menerima sholatnya jika ia sholat dengan hati yang salim, khusyu’, dan murni
oleh manisnya munajah kepada-Nya.
Adapun
ketentuan-ketentuan sholat berjama’ah adalah sebagai berikut :
- Sholat berjama’ah dilakukan harus satu imam dan minimal satu makmum. Kecuali dalam sholat jum’at berjama’ah, menurut Imam Syafi’i minimal harus 40 orang (termasuk imam) selain wanita dan anak yang belum baligh.
- Makmum masbuk (makmum yang tertinggal) bisa menemui roka’at minimal imam sedang dalam tumakninah ruku’. Misalkan dalam sholat magrib seseorang menemui imam sedang dalam tumakninah ruku’ pada roka’at pertama, kemudian ia segera niat dan mengikuti sholatnya, maka ia sudah mendapati roka’at pertama. Jika imam mulai beranjak dari ruku’ menuju i’tidal, sedangkan ia baru selesai niat dan mengikuti sholatnya, maka ia telah tertinggal satu roka’at dan harus menambah 1 rokaat sendiri seusai imam mengucapkan salam. (Dalil dan bukti : KLIK DISINI)
- Makmum bisa menemui sholat berjama’ah selagi imam belum mengucapkan salam yang pertama. Misalkan seorang makmum masbuk (makmum yang tertinggal) menemui imam dalam kondisi sedang sujud, maka ia boleh langsung memulai dan mengikuti sholat berjama’ah meski dalam keadaan sujud. Namun berbeda dengan sholat berjama’ah jum’at, seseorang dikatakan mengikuti sholat jum’at berjama’ah apabila minimal ia tertinggal satu roka’at (ia harus menambah satu roka’at sendiri selesai berjama’ah). Apabila ia tertinggal 2 roka’at, ia harus melakukan sholat 4 roka’at seperti sholat dhuhur. Caranya, misalkan ia menemui imam sedang dalam keadaan i’tidal lalu ia mengikuti sholatnya, maka setelah imam salam harus menambah 4 rokaat dengan berganti niat sholat dhuhur (pengucapan niat boleh dibaca dalam hati).
- Seorang makmum wajib mengucapkan niat untuk mengikuti imam atau jadi makmum, cukup dengan ucapan “ada’an makmuman atau aku jadi makmum” dan boleh tidak menyebutkan nama imam. Apabila ia menyebutkan nama imam tetapi ternyata ia salah nama, maka sholatnya batal. Dan boleh juga meyebutkannya dengan isyarat, misalnya dengan ucapan “aku niat mengikuti imamnya Zaid” padahal Zaid adalah seorang makmum sedangkan imamnya adalah Umar, yang penting dalam hatinya ia tertuju pada imam yang asli bukan pada Zaid.
- Seorang imam tidak diwajibkan mengucapkan niat menjadi imam, tetapi niat menjadi imam hanya disunnahkan. Kecuali sholat jum’at, seorang imam harus mengucapkan niat menjadi imam karena sholat jum’at berjamaah hukumnya wajib.
- Seorang merdeka boleh menjadi makmum dari seorang budak.
- Seorang baligh boleh menjadi makmum seorang yang sudah mendekati baligh. Tetapi seorang yang baligh atau seorang yang mendekati baligh tidak boleh menjadi makmum dari anak kecil yang jauh dari baligh.
- Seorang laki-laki tidak boleh menjadi makmum dari seorang perempuan atau banci asli. Begitu juga banci asli tidak boleh menjadi makmum orang perempuan atau sesama banci asli. Kecuali, seorang anak laki-laki belum baligh boleh menjadi makmum seorang wanita baligh dan dewasa karena itu bersifat pendidikan.
- Seorang yang pandai dan fasih dalam membaca Fatihah tidak boleh menjadi makmum dari seorang yang buta huruf yang salah dalam huruf, tasydid, dan lainnya di dalam bacaan Fatihah.
- Menjadi makmum boleh disembarang tempat dalam masjid atau musholla dengan syarat ia mengetahui gerakan imam secara langsung atau dari shof-shof makmum lainnya.
- Jika imam sholat di dalam masjid sedangkan makmum sholat diluar masjid, maka disyaratkan jarak antara keduanya tidak melebihi 300 diro’ (sekitar 150 meter) sedangkan si makmum mengetahui sholat si imam dan tidak ada penghalang antara keduanya (sesuatu yang menutupi penglihatan si makmum terhadap si imam). Begitu juga jika keduanya melakukan sholat di luar masjid seperti di lapangan atau di dalam suatu gedung. Secara logika, batas jarak antara imam dan makmum tidak boleh melebihi 300 diro’ atau sekitar 150 meter karena pada jarak tersebut sudah sangat samar melihat antara satu dengan yang lain meski tanpa suatu penghalang.
- Menjadi makmum harus berada agak ke belakang imam. Boleh berada disamping imam asalkan tumitnya (tungkaknya) tidak melebihi tumit imam.
- Jika seseorang hendak menjadi makmum dari orang yang sholat sendirian, maka akan lebih baik jika ia menepuk punggung orang tersebut sebagai isyarat bahwa ia ingin menjadi makmum. Apabila orang yang sholat tersebut tidak menginginkan untuk diikuti, maka hendaknya ia melambai pelan tangan kanan ke arah belakang sebagai isyarat bahwa ia tidak mau menjadi seorang imam.
- Jika seseorang hendak menjadi makmum dari orang yang sholat sendirian, maka alangkah lebih baik jika ia memposisikan diri pada sebelah kanan agak belakang orang tersebut. Jika seseorang lagi menginginkan ikut di dalamnya, maka alangkah lebih baik jika ia memposisikan diri pada sebelah kiri agak belakang si imam. Jika seseorang lagi menginginkan ikut di dalamnya, maka alangkah baiknya jika kedua makmum sebelah kanan dan kiri hendaknya mundur agar posisi tengah terisi penuh tanpa kekosongan atau si imam yang maju, dan begitu seterusnya.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dalam
menjalankan perintah dan syariat-Nya.
Keterangan ini diambil dari Kitab Fatkhul
Qorib Wal Mujib karangan Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghozi, Bab Sholat-Hal. 17.
DOWNLOAD FILE INI :
Semoga bermanfaat....^_^
Post a Comment