Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran Lamongan



Sejenak aku terdiam, mengenang masa di saat alunan bacaan-bacaan Al-Qur’an terdengar merdu, sorak gembira santri-santri saat berangkat mengaji, nasehat-nasehat guru yang penuh arti, kitab-kitab kuning menjadi bacaan sebagai pelipur lara di hati, dan sejuknya nuansa islam bagai udara di kala pagi.
Pondok Pesantren Sunan Drajat, Desa Banjaranyar Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Sebuah penjara suci yang  mengekang jiwa menuju cahaya islami. Pondok pesantren yang memiliki area luas dan dihuni oleh ribuan santri dari berbagai macam wilayah jawa maupun luar jawa. Menaungi banyak yayasan yang diantaranya adalah MTs Al-Muawanah, SMPN 2 Paciran, MA Sunan Drajat, SMK, STM, Madrasah Mualimin-Mualimat, dan STAIRA.
Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur, beliau adalah pendiri dan pemangku pondok sekaligus beberapa yayasan yang ada di dalamnya. Beliau merupakan tokoh agama dan sosok kyai yang amat disegani, termasyhur di berbagai kalangan dan daerah. Beliau bukan hanya seorang kyai yang pandai dalam ilmu agama islam tetapi juga berbagai macam keilmuan seperti ilmu bisnis, ilmu perekonomian dan perdagangan, dan juga ilmu spiritual.
Tahun 2005, aku memulai belajar mengaji dan sekolah disana. Asrama Al-Hambali adalah gubuk indah tempat aku tinggal dan menetap. Hari demi hari aku mulai mengenal banyak teman seperjuangan. Memiliki banyak teman adalah hal yang indah. Suka, duka, tangis, dan tawa seolah udara yang kami hirup bersama. Makan bersama, bangun dan tidur bersama, berangkat ngaji dan sekolah bersama, rasa seolah tak pernah lelah menjalani kehidupan yang sama setiap hari.
Sebelum subuh banyak santri yang telah bangun untuk mengantri kamar mandi. Terkadang, menanti teman mandi pun sampai tertidur kembali, hahahaha. Adzan subuh pun menggema dan membangunkan para santri yang masih tertidur dan tentunya para kakak-kakak santri pengurus pun membangunkan kami. Berangkat menuju masjid dan melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Seusai sholat berjama’ah kami kembali ke asrama untuk melaksanakan rutinitas membaca surat Al-Waqiah dan surat Al-Mulk. Namun, aku terkadang masih di masjid untuk melanjutkan mimpi yang tertunda, hehehehe. Setelah selesai, kami segera mengaji Kitab Tafsir Jalalain di masjid bersama Pak Dahlan. Aku suka cerita-cerita dalam kitab tersebut saat beliau menerangkan. Aku masih ingat saat aku dihukum oleh pengurus karena ia mengira aku mengaji tanpa membawa kitab, padahal kitabku dibawa teman. Telanjang hanya memakai sarung dan berdiri di atas kolam sampai pengajian selesai. Para santri-santri melihatiku, malu rasanya dan sebel banget.
Seusai mengaji kami pun segera mengantri sarapan pagi di kos makan. Nasi, tempe dan sambal sudah menjadi makanan kami setiap pagi. Setelah itu kami harus mengantri lagi untuk mandi, dan sering kali aku tak pernah mandi pagi karena antrian yang terlalu banyak. Ya, hanya membasuh muka dan meyikat gigi, huft. Berangkat sekolah seusai sarapan pukul 07.00 WIB sampai pukul 13.30 WIB. Sepulang sekolah kami pun harus mengantri makan siang. Ya, lagi-lagi tempe atau ikan pindang dengan sayur kuah. Selama 1 tahun setengah aku hanya makan dengan nasi dan tempe walaupun hanya 2 kali dalam seminggu aku harus makan ikan ayam.
Abah yai Ghofur pernah berkata bahwa mondok itu belajar sabar, semua serba antri. Makan, minum, mandi, cuci pakaian, wudlu, semua serba antri. Hanya orang-orang yang sabar yang akan krasan dengan keadaan seperti itu. Tidak hanya belajar sabar karena mondok juga bisa membentuk mental diri. Terkadang sandal yang baru beli pun akan dilahab oleh santri lain. Selama tiga tahun aku memakai sandal selingkuh, kadang juga pergi mengaji dengan sepatu, dan terkadang tanpa alas kaki. Hmm, dan selama hampir 2 tahun penyakit gatal-gatal menggerogoti tubuh. Ya, semua itu adalah cobaan dan pembelajaran yang menarik.
Selesai makan kami pun istirahat dan tidur siang sejenak sampai panggilan adzan ashar. Adzan ashar pun menggema, mengajak untuk melaksanakan sholat berjamaah. Namun, sebagian besar dari kami pun masih tertidur. Setelah jamaah sholat ashar lagi-lagi harus antri mandi, huft. Setelah mandi kami langsung menuju pondok putri untuk mengaji diniyyah ilmu nahwu, Kitab Amtsilati.
Majlis Al-Mukhtar adalah majlis non-formal dan tidak terikat pondok, diasuh oleh Ust. Masykur Amin, dan hanya beberapa santri yang mengikuti pengajian Kitab Fatkhul Qorib Wal Mujib bersama Pak Amin setelah mengaji diniyyah sampai menjelang waktu maghrib. Saat adzan maghrib telah berkumandang, kami melaksanakan sholat magrib berjamaah dan tak boleh ada satu santri pun yang masih tertinggal di asrama. Setelah sholat, kami mengaji Al-Qur’an bersama-sama di kelas yang telah ditetapkan sampai waktu isya’ tiba. Setelah melaksanakan sholat isya’ berjamaah kami masih harus belajar di LPBA (Lembaga Pengembangan Bahasa Asing) progam pondok yaitu belajar bahasa inggris sampai pukul 20.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Nah, baru setelah itu para santri bisa menyantaikan diri. Namun, khusus tiap malam jum’at setelah isya’ semua santri diwajibkan berkumpul dalam masjid untuk melakukan pengajian abah yai Ghofur secara bersamaan. Dan tentunya masjid pun menjadi jubel dan hampir tidak muat.
Pukul 21.00 WIB aku masih mengikuti kajian ilmu nahwu oleh Kak Budi Susanto, beliau adalah siswa MMA (Madrasah Mualimin-Mualimat kelas 6 setara dengan kelas 3 SMA). Belajar nahwu ini selesai pukul 23.00-00.00 WIB. Dan puji syukur kepada Allah, karena ilmu nahwu yang aku dapat banyak dari ajaran Kak Budi. Namun, hanya 1 tahun (waktu aku kelas 1 MA) aku bisa belajar bersama Kak Budi, karena beliau lulus MMA dan pindah dari pondok.
Pada hari-hari tertentu, majlis Al-Mukhtar mengadakan kegiatan rutinitas belajar bahstul masail yaitu berdebat mencari suatu hokum dari permasalahan fiqih. Dan tentunya tidak hanya sekedar berdebat tetapi harus bisa mempertanggungjawabkan argument yang dilontarkan. Argumen setidaknya harus berasal dari refrensi kitab-kitab kuning. Bahkan majlis Al-Mukhtar pernah mengadakan acara bahstul masail sepondok sebanyak 4 kali. Namun sayang, kini majlis tersebut telah karena off karena tak ada santri yang mau mengurusi bahkan mengikutinya. Aku berharap suatu saat majlis ini akan tumbuh kembali dan berkembang layaknya bunga yang mekar.
Seperti halnya pepatah mengatakan tak ada pertemuan tanpa perpisahan, maka 3 sudah aku belajar di Pondok Pesantren Sunan Drajat. Menggali ilmu-ilmu agama dan melukis kisah yang tak terlupa. Tahun 2008, tahun dimana tangis air mata membasahi pipi. Teman-teman yang memberikan selimut suka duka bersama, guru-guru bijaksana yang berhias keikhlasan, lembaran-lembaran penyejuk hati, tempat yang suci, dan suasana islami yang kian dirindukan, akankah akan terulang kembali ???. Hanya harapan yang tersisa, semoga pondokku akan tetap jaya demi tegaknya agama.
Terima kasih Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur atas semuanya. Terima kasih Pak Dahlan atas ilmunya. Terima kasih Ust. Masykur Amin waktu dan bimbingannya. Terima kasih Kak Budi Susanto atas pengajaran ilmu nahwu dan shorofnya. Terima kasih segenap pengurus, guru, temen-temen dan semua alumni dan santri Pondok Pesantren Sunan Drajat. Terima kasih Al-Mukhtar dan yang terakhir terima kasih Pondok Pesantren Sunan Drajat. Semoga limpahan rohmat Allah senantiasa menyelimuti kita semua. Amiin Ya Arhamar Rohimin…
Masjid PP. Sunan Drajat
Santri-santri putri saat berada dalam masjid


Post a Comment

Previous Post Next Post